Sekda Kota Jayapura, R.D Siahaya, akhirnya dieksekusi ke Lapas Klas II A Abepura oleh Kejaksaan Negeri Jayapura, pasa Sabtu 17 November malam, setelah setahun lebih melenggang bebas pasca-putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan bebas Pengadilan Tipikor Jayapura 2016 silam.
Sekda RD Siahaya datang ke Lapas Abepura sekitar pukul 18.00 WIT dengan pengawalan dua penasehat hukum, yakni Anton Raharusun dan Yonce Pohwain dan puluhan masa pendukung. Sementara pihak Kejaksaan Negeri Jayapura, Lukas Lukas Kubela turut hadir.
Namun, penyerahan diri sang Sekda sempat diwarnai insiden pelarangan liputan wartawan oleh pihak keluarga dan pendukung Sekda. Awak media yang telah menunggu sejak sore, harus menjauh dari pintu masuk Lapas Abepura.
Lucas Kubela, selaku pihak Kejaksaan kepada awak media malam kemarin meminta awak media untuk menjauh. "Kalau kawan-kawan ada disini, beliau tidak mau masuk, jadi harap kesebelah sana (sambil menunjuk lorong ujung Lapas, "kata Kubela.
Sementara, keluarga dan pendukung dari luar pintu Lapas meneriaki salah seorang wartawan media online lokal yang sudah ada di dalam kompleks Lapas, untuk keluar dan tidak meliput masuknya sang Sekda.
Suasana semakin tegang dengan teriakan pendukung yang seolah tidak simpatik dengan keberadaan awak media di Lapas Abepura.
Penasehat Hukum RD Siahaya, Anton Raharusun meminta maaf atas insiden tersebut, sesaat setelah sang Sekda masuk ke dalam Lapas.
"Ya sebetulnya beliau mau sampaikan langsung, tapi ya saya minta maaf atas insiden protes di depan tadi yang kawan-kawan wartawan lihat, namun harus dimaklumi. Dari pada nanti ada hal -hal yang tidak diinginkan dengan keluarga pak Sekda, kita juga harus hormati Protap di Lapas," kata Anton.
Menurutnya, kasus yang menjerat Seksama kota Jayapura adalah kasus biasa. Namun akibat yang bersangkutan adalah pejabat publik hingga kasusnya dibesar-besarkan. Anton bahkan menyebut, Sekda adalah korban peradilan tak adil.
"Pak Siahaya ini adalah pejabat, maka kasus ini di blowup oleh beberapa pihak, seharusnya biasa saja, kan pasalnya sudah jelas. Kerugian negara disebut Rp2,4 milyar, lebih besar dari nilai proyek sebesar Rp1 milyar lebih, dan ini tidak betul, dalam undang-undang, pengantungan Kerugian Negara bukan dilakukan oleh jaksa, harusnya oleh BPK, dan atas temuan,"katanya.
Lain itu, kasus yang menjerat sang Sekda adalah administrasi, berawal dari penandatanganan SPM (Surat Perintah Membayar) melanjutkan proses yang telah ditinggalkan pejabat sebelumnya, namun kemudian ini yang disalahkan.
"Proses administrasi itu tidak boleh menjadi pidana, harus ada temuan BPK, sehingga dilakukan penyelidikan atas kasus itu.Ya kalau Sekda tidak menandatangani itu salah, karena ada aturannya di undang-undang. Dan jika itu salah berarti para Sekda lain adalah salah. Terlebih Sekda tidak menerima uang itu," katanya.
Mahkamah Agung memutuskan Seksa bersalah dengan nomor 487 K/Pid.Sus/2016 per Desember 2016 lalu, sekaligus membatalkan putusan bebas Pengadilan Tipikor PN Jayapura Nomor 09/Pid. Sus-TPK/2014/PN Jap tertanggal 21 September 2015. Dengan vonis hukuman 5 tahun 6 bulan penjara, dan denda 200 juta rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar